Jumat, 12 Oktober 2012

Tari Maengket


Tari Maengket
Adalah tari tradisional Minahasa yang dari Zaman dulu kala sampai saat ini masih berkembang. Tari Maengket sudah ada ditanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian. Tarian maengket dilakukan pada saat sedang panen hasil pertanian dengan gerakan-gerakan sederhana. Sekarang tarian Maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya. Maengket terdiri dari 3 babak yaitu : Maowey Kamberu, Marambak, Lalayaan
Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda/banyak.
Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur.
Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa.


Tarian Kabasaran

Jika umumnya tarian di Indonesia penuh dengan kelembutan dan senyum, maka hal ini tidak akan ditemukan didalam tarian adat Suku Minahasa yang ada di Sulawesi Utara, Kabasaran.

Tarian adat yang kebanyakan dibawakan oleh pria lengkap dengan senjata tajam berupa pedang atau tombak ini, sangat identik dengan gerakan yang meniru perkelahian ayam jantan.
Menurut salah satu tokoh kebudayaan dari Minahasa, Jessy Wenas, Tarian Kabasaran adalah tarian adat untuk perang atau tarian untuk mengawal salah satu tokoh adat penting di Minahasa.

Dahulunya tarian ini hanya dikeluarkan saat perayaan upacara upacara adat di Minahasa, namun sering dengan perkembangannya, tarian sakral inipun kini bisa ditonton publik untuk kegiatan pariwisata.

"Tarian ini sebenarnya adalah tarian sakral. Tarian ini ditarikan secara turun temurun oleh generasi penari Kabasaran. Jika dalam upacara adat Minahasa, Kabasaran adalah prajurit adat yang memiliki otoritas penuh dalam jalannya sebuah upacara adat, mereka dulunya bisa membunuh atau mengusir si jahat yang mengganggu upacara," kata Jessy Wenas.

Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak yang terdiri dari

1. Cakalele
Yang berasal dari kata saka yang artinya berlaga, dan lele artinya berkejaran melompat lompat.

Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang, babak ini menunjukkan keganasan berperang mereka pada tamu agung, serta untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung, dimana mereka bisa membuat setan takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.




2. Kumoyak
Yang berasal dari kata koyak artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata koyak sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.

3. Lalaya an
Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang, dibabak ini para penari bisa berekspresi riang, dibanding dua babak sebelumnya yang mengaharuskan mereka berwajah garang tanpa senyum.

Umumnya, busana yang digunakan dalam tarian ini berwarna merah, sementara hiasan kepala para penari ini terbuat dari kain ikat kepala yag diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih.

Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah lei-lei atau kalung-kalung leher, wongkur penutup betis kaki, rerenge en atau giring-giring lonceng yang terbuat dari kuningan.

Jadi jika Anda ingin melihat tarian ini, usahakan untuk melihat jadwal kegiatan pesta adat di Minahasa.
Watu Pinawetengan



Watu Pinawetengan (yang berarti Batu Tempat Pembagian) yang berada di kecamatan Tompaso kabupaten Minahasa.
Di tempat inilah, sekitar 1000 SM terjadi pembagian sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao. Selain membagi wilayah, para tetua suku-suku tersebut juga menjadikan tempat ini untuk berunding mengenai semua masalah yang dihadapi.
Goresan-goresan di batu tersebut membentuk berbagai motif dan dipercayai sebagai hasil perundingan suku-suku itu. Motifnya ada yang berbentuk gambar manusia, gambar seperti alat kemaluan laki-laki dan perempuan, motif daun dan kumpulan garis yang tak beraturan tanpa makna.
Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, bentuk batu ini seperti orang bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, bentuk batu ini juga seperti peta pulau Minahasa. Batu ini menurut para arkeolog, dipakai oleh nenek moyang orang Minahasa untuk berunding. Maka tak heran, namanya menjadi Watu Pinawetengan yang artinya Batu Tempat Pembagian.
Batu ini bisa dikatakan tonggak berdirinya subetnis yang ada di Minahasa dan menurut kepercayaan penduduk berada di tengah-tengah pulau Minahasa. Bahkan beberapa orang yang rutin mengunjungi Watu Pinawetengan, ada ritual khusus yang diadakan tiap 3 Januari untuk melakukan ziarah. Sementara itu, karena nilai sejarah dan budaya yang kental, tiap Tgl 7 Juli dijadikan tempat pertunjukan seni dan budaya yang mulai terkikis di Minahasa.